Corporate Social Responsibility [CSR]
Merupakan isu
marginal yang kini menjadi isu sentral, bahkan ditempatkan di posisi yang kian
terhomat.
1.
Dibutuhkan pemahaman yang
memadai tentang konsep dasar dan isu-isu yang terkait dengan masalah ini.
2.
Patut disayangkan bila sekedar
mengikuti tren tanpa memahami esensi dan manfaat dari CSR, maka konsep dan
sistim yang bagus itu tidak akan well implemented, dan bahkan menjadi jargon
atau anekdot belaka.
3.
Beberapa hal yang perlu
diketahui antara evolusi dan definisi CSR, hubungan CSR dengan Good Corporate
Governance [GCG], konsep Sustainable Development, konsep Triple Bottom Line dan
prinsip-prinsip atau pedoman CSR.
EVOLUSI CSR
CSR kini marak
diimplementasikan di perusahaan, mengalami evolusi dan metamorfosis. Dalam rentang
waktu yang cukup panjang. Ada
beberapa tahapan sebelum gema nya lebih terasa. Garis besarnya berdasarkan
literatur, tahapan perkembangannya dapat dideskripsikan.
Pada saat
industri berkembang kebanyakan perusahaan memfokuskan dirinya sebagai organisasi
yang mencari keuntungan belaka dan memandang bahwa sumbangan kepada masyarakat
cukup diberikan dalam bentuk penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan
masyarakat melalui produknya dan pembayaran pajak kepada negara.
Seiring berjalannya
waktu masyarakat tak sekedar menuntut perusahaan untuk menyediakan barang dan
jasa melainkan juga menuntut untuk bertanggungjawab secara sosial.
Karena
terdapatnya ketimpangan ekonomi antara pelaku usaha dengan masyarakat
disekitarnya, kegiatan operasional perusahaan memberikan dampak negatip,
misalnya eksploitasi Sumber Daya dan lingkungan karena itulah yang
melatarbelakangi munculnya konsep dasar CSR yang paling primitif: Kedermawanan
yang bersifat karitatif.
Pada tahun
1950-an kemiskinan dan keterbelakangan mulai mendapatkan perhatian lebih luas
dan saat inilah era modern dari CSR dimulai.
Howard R. Bowen
ditulis tahun 1953 merupakan literatur awal yang menjadi tonggak sejarah
modern, Bowen diganjar dengan sebutan “Bapak CSR”
Pada dekade itu
juga diramaikan “Silent Spring” dan persoalan lingkungan diwacanakan dalam
tataran global, Rachel Carson mengingatkan kepada masyarakat dunia bahwa betapa
mematikannya pestisida bagi lingkungan dan kehidupan dan sejak itu perhatian
terhadap masalah lingkungan semakin berkembang. Dan mendapat perhatian luas.
Pemikiran
tentang korporasi yang lebih manusiawi “The Future Capitalism” yang
ditulis Lester Thurow tahun 1966,
Kapitalisme tidak hanya berkutat pada masalah ekonomi, namun unsur sosial dan
lingkungan menjadi basis yang nantinya disebut Sustainable Society.
The Limits to
Growth hasil pemikiran para cendikiawan dunia yang tergabung dalam Club of
Rome, mengingatkan, bumi yang kita pijak mempunyai keterbatasan daya dukung,
disisi lain manusia bertambah secara eksponensial. Eksploitasi alam dilakukan
secara hati-hati supaya dapat diakukan berkelanjutan.
Sejalan dengan
kepedulian lingkungan, kegiatan perusahaan terus berkembang dalam kemasan
philanthropy serta Community Developmenf [CD], terjadi perpindahan penekanan
dari fasilitasi dan dukungan pada sektor produktif ke arah sektor sosial.
Kesadaran peningkatan produktivitas hanya akan menahan orang miskin tetap
miskin. Berbagai program dilakukan seperti penyediaan sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan,
air bersih dan banyak lagi.
Definisi CSR
The World
Business Council for Sustainable Development [WBCSD] mendefinisikan CSR sebagai
“Continuing commitment by business to behave ethically and contribute
to economic development while improving the quality of life of the workforce
and their families as well as of the local community and society at large.”
Versi lainnya
dilontarkan oleh World Bank, memandang CSR ini sebagai “ the
commitment of business to contribute to sustainable economic development
working with employees and their representatives, the local community and
society at large to improve the quality of life, in ways that are both good for
business and good for development”
CSR forum
memberikan definisi “CSR mean open and transparent business practice
that are base on ethical value and respect for employees, communities and
environment.”
Good Corporate
Governance [GCG] telah menjadi istilah dan gerakan yang begitu hangat
diperbincangkan, institusi-institusi global turut jadi pemantik untuk
menyalakan api impelmentasi GCG secara konsisten di dunia usaha.
GCG bermula dari
krisis finansial yang terjadi di berbagai kawasan. Banyak pihak menilai bahwa
krisis finansial ini dipandang karena lemahnya praktek GCG.
Sampai saat ini
belum ada kata sepakat tentang definisi
GCG, umumnya dipahami sebagai suatu sistim, dan perangkat peraturan yang
mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan terutama dalam arti
sempit hubungan antara pemegang saham dan dewan direksi demi tercapainya tujuan
perusahaan.
Dalam arti luas
GCG digunakan untuk mencegah terjadinya kesalahan signifikan dalam strategi
perusahaan sekaligus dapat memperbaiki masalah tersebut dengan segera.
Prinsip-prinsip
GCG.
Terdapat 5
prinsip GCG yang dijadikan pedoman oleh para pelaku buiness yaitu:
1.
Transparancy.
Dalam mewujudkan prinsip ini perusahaan dituntut menyediakan
informasi yang akurat, tepat waktu kepada segenap stakeholders.
2.
Accountability.
Adanya kejelasan tentang fungsi, struktur, sistim dan
pertanggungjawaban elemen perusahaan.
3.
Responsibility.
Kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku diantaranya
adalah masalah pajak, hubungan industrial, kesehatan dan keselamatan kerja,
perlindungan lingkugan hidup, memelihara lingkungan business yang kondusif
bersama masyarakat dsb.
4.
Independency.
Prinsip ini mensayaratkan agar perusahaan dikelola secara proesional
tanpa ada benturan, intervensi dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
5.
Fairness
Perlakuan yang adil dalam memenuhi hak stakeholders sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
KTT Bumi di
Rio de Janeiro.
Sejak konferensi
di Stockholm ,
polarisasi diantara kaum developmentalist dan evnvironmentalist semakin tajam.
Dua puluh tahun setelah konferensi lingkungan hidup di Stockholm atau 5 tahun
setelah terbitnya “Laporan Bruntland”, PBB menyelenggarakan Konferensi Khusus
Masalah Lingkungan dan [United Nation Conference on Environment and
Development/UNCED] atau yang lebih dikenal dengan KTT Bumi di Rio de Janeiro,
Brazil.
Slogan “Think
Globally, Act Locally” yang diusung KTT Bumi ini menjadi populer untuk
mengekspresikan perilaku ramah lingkungan.
Hasil dari KTT
Bumi antara lain adalah kesepakatan para pemimpin dunia untuk mengkompromikan
berbagai rencana besar terkait dengan pembangunan atas perlindungan lingkungan
hidup, pembangunan ekonomi dan sosial.
Kesepakatan
tersebut dituangkan dalam 3 dokumen yang secara hukum mengikat [legally
binding] dan 3 dokumen yang secara hukum tidak mengikat [non legally binding].
Legally binding
documents terdiri dari:
1. Convention on Biological Diversity [CBD] bertujuan
untuk melestarikan beraneka ragam sumber daya genetika [plasma nuftah],
spesies, habitat dan ekosistim.
2. United Nation Framework Convention on Climate
Change [UNFCCC] bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di
atmosfir sampai pada tingkat yang dapat mencegah campur tangan manusia yang
berbahaya terhadap iklim.
3. Covention to Combat Desertification [CCD] atau
konvensi tentang mengatasi degradasi lahan.
Sedangkan non
legally binding documents terdiri dari :
1.
Rio Declaration tentang 27
prinsip yang menekankan hubungan lingkungan dan pembangunan.
2.
Forest Principles
[Authoritative Statement of Principles for Global Consensus on Management,
Conservation and Sustainable Development of All Type of Forest] menyatakan
pentingnya hutan bagi pembangunan ekonomi, penyerapan karbon atmosfer,
perlindungan keragaman hayati, dan pengelolaan daerah aliran sungai.
3.
Agenda 21 yang merupakan
rencana komprehensip mengnai program pembangunan berkelanjutan ketika memasuki
abad ke 21.
KTT
Pembangunan berkelanjutan di Johannesburg .
Pasca KTT Rio
kondisi dunia kian memburuk, ini dibuktikan kemiskinan di negara berkembang
makin merajalela, sementara tingkat konsumsi di negara maju terhadap SDA yang
merusak lingkungan dan tidak sustainable juga terus meningkat pesat.
Di balik itu
justru mulai muncul berbagai gerakan di seluruh dunia, sepuluh tahun setelah
KTT Rio, PBB memutuskan untuk menyelenggarakan KTT Pembangunan Berkelanjutan
[World Summit on Sustinable Development] di Johannesburg, Afrika Selatan.
Konferensi dunia
yang disebut juga Rio +10 yang menghasilkan:
1.
Dokumen pertama berupa
Deklarasi Johannesburg
untuk Pembangunan Berkelanjutan. Isinya, tantangan dalam menjalankan
pembangunan berkelanjutan.
2.
Dokumen Kedua, Recana
Implementasi. Dokumen ini berisi upaya-upaya yang dilakukan berdasarkan prinsip
bersama tapi dengan tanggungjawab yang berbeda, dengan mengintegrasikan elemen
ekonomi, ekologi dan sosial yang didasarkan tata penyelengaraan pemerintahan yang
baik.
3.
Dokumen ketiga, kerjasama yang
dikenal dengan istilah Type II, yang dimaksudkan adalah mempercepat proses
pembangunan berkelanjutan yang merata secara internasional dengan dukungan dana
dari negara negara maju secara internasional.
Deklarasi Johannesbirg
menggaris bawahi pembangunan berkelanjutan mempunyai 3 pilar, yaitu ekonomi,
lingkungan hidup dan sosial. Intinya pembangunan berkelanjutan adalah
pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan dan sekaligus mengusahakan
pemerataan yang seadil-adilnya.
Pembangunan
berkelanjutan di Indonesia .
Pembangunan
berkelanjutan masih menjadi jargon beraroma manis, bukan hanya di level bawah
bahkan para pengambil keputusanpun belum mempunyai pemahaman dan komitmen kuat.
Jelas bahwa
masalah pembangunan berkelanjutan adalah masalah kompleks. Persoalan ini
berakar dari paradigma yang bersifat partial fragmentatif, karena itu perlu
pergeseran holistik dan integratif,
Pendekatan
pembangunan ini memang masih jarang dilakukan, terlebih di era otonomi.
Pemerintah hanya berfikir bagaimana meningkatkan Pendapatan Hasil Daerah, soal
dampak lingkungan itu urusan belakangan. Ini menyebabkan kerjasama antar daerah
nyaris tidak ada.
Karena itu semua
pihak harus proaktif dalam memahami berbagai konsep pembangunan berkelanjutan
untuk kemudian mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dengan
membuka berbagai literasi, mengundang pakar, melakukan benchmarking dan
kemudian diimplementasikan dengan cara menggunakan teknologi tepat guna, ramah
lingkungan, sesuai kebutuhan dan berbasis sosial budaya masyarakat.
Konferensi-konferensi
seperti KTT Rio de Janeiro , KTT Johannesburg dan lainnya telah
merumuskan agenda penting mengenai masa depan umat manusia..
Protokol
Kyoto.
Selama ini kita
memahami kalau perubahan iklim merupakan peristiwa alamiah saja. Salah satunya
adalah peningkatan suhu bumi. Majalah National Geographic menurunkan data iklim
dari berbagai institusi yang menunjukkan fakta yang mengerikan. Suhu bumi
mengalami peningkatan yang sangat cepat seiring dengan meningkatnya kadar
karbondioksida di atmosfir sekitar tahun 1960-an hingga akhir-akhir ini.
Bila ditelusuri
pertumbuhan penduduk dan energi fosil secara besar-besaran sejak adanya
revolusi industri menjadi pemicu terjadinya pemanasan global. Gas rumah kaca
merupakan hasil dari proses penguapan air, fotosintesa, letusan gunung berapi
dan sebagainya.
Saat ini efek
domino dari peningkatan gas rumah kaca ini berimbas pada sendi-sendi kehidupan
masyarakat, seperti perubahan iklim yang sangat sulit diprediksi. Para petani yang paling merasakannya karena merasa kebingungan
untuk mengatur pola tanam. Entah karena panas yang berkepanjangan ataupun
sebaliknya.
Menyadari permasalahan
tsb berbagai pihak berupaya melakukan pengendalian thd gas rumah kaca akibat
gas buangan yang dilepaskan oleh manusia dari industrialisasi, kendaraan
bermotor, penebangan bahkan kebakaran hutan.
Peran menjaga
laju pemanasan global akibat peningkatan emisi gas rumah kaca atau Green House
Gases [GHGs] tsb disepakati dengan prinsip “Kewajiban Bersama dan Berbeda
Tanggung Jawab”
Negara Annex 1
yaitu negara yang lebih dulu mengeksploitasi SDA, diwajibkan secara hukum
mengurangi emisi gas rumah kaca yang a.l. CO2, CH4, N2O,
NHCS, PSCF, SF6, minimal 5,25%
Dalam Protokol
Kyoto ini juga diatur sebuah mekanisme yang disebut flexible mechanism yang
terdiri dari:
1.
Joint Implementation kerjasama
antar negara Annex 1 [negara maju] dalam upaya menurunkan efek gas rumah kaca.
2.
Clean Development Mechanism
[CDM] suatu mekanisme di bawah protokol Kyoto
yang dimaksudkan untuk membantu negara-negara maju atau industri memenuhi
sebagian kewajibannya menurunkan emisi GHGs. Mekanisme ini menawarkan win-win
solution dimana negara maju menanamkan modalnya dalam proyek-proyek yang dapat
menghasilkan pengurangan GHGs dengan imbalan CER [Certified Emision Reduction].
3.
Emission Trading, bentuk tukar
menukar kredit emisi antara negara Annex 1 dalam memenuhi target mereka.
KTT Millenium
di New York .
Saat ini masalah
kemiskinan sudah menjadi masalah global. Wujud kepedulian dunia terhadap
kemiskinan adalah lahirnya United Millenium Declaration yang berupa Millenium
Development Goals [MDGs] yang disepakati oleh 189 negara anggota PBB dalam KTT
Millenium bulan Desember tahun 2000.
MDGs memiliki 8 tujuan dan 18 yang harus dicapai sebelum tahun 2015
yaitu:
1.Menghapuskan
tingkat kemiskinan dan kelaparan yang parah.
2. Pencapaian
pendidikan dasar secara universal
3. Mengembangkan
kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan
4. Mengurangi
kematian anak
5. Meningkatkan
kesehatan ibu, mengurangi dua pertiga rasio kematian.
6. Perlawanan
terhadap HIV/Aids, malaria dan penyakit lainnya
7. Menjamin
berlanjutnya pembangunan lingkungan
8. Mengembangkan
kemitraan global untuk pembangunan.
Membedah
Konsep Triple Bottom Line.
Dipopulerkan
oleh John Elkington tahun 1997 melalui bukunya “Cannibal with Forks, the
Triple Bottom Line of twentieth Century Business”. Dalam hal ini Elkington memberi pandangan bahwa
perusahaan yang ingin berkelanjutan haruslah memperhatikan “3P”, selain
mengejar profit perusahaan memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan
kesejahteraan masyarakat [people] dan menjaga kelestarian lingkungan [planet].
Sosial [people]
Lingkungan [planet] Ekonomi [profit]
Dalam gagasan
tsb perusahaan tidak lagi dihadapkan oleh single bottom line, yaitu aspek
ekonomi yang direfeleksikan hanya segi finansialnya tapi juga aspek sosial dan
lingkungan.
Profit
Profit merupakan
unsur terpenting dalam setiap kegiatan usaha. Tak heran seluruh kegiatan dalam
perusahaan adalah mengejar profit atau mendongkrak saham setinggi-tingginya.
Aktivitas yang
dapat ditempuh untuk mendongkrakprofit antara lain meningkatkan produktifitas
dan melakukan efisiensi biaya. Peningkatan produktivitas dapat diperoleh dengan
memperbaiki manajemen kerja, mengurangi aktivitas yag tidak eifisien, menghemat
waktu proses dan pelayanan
People
[Masyarakat Pemangku Kepentingan]
Menyadari bahw
masyarakat adalah pemegang stake holders penting bagi perusahaan, karena
dukungan mereka terutama masyarakt sekitarsangat diperlukan bagi keberadaan,
kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan.
Selain itu juga
perlu disadari bahwa operasi perusahaan berpotensi emberikan dampak kepada masyarakta. Intinya bila ingin eksis
dan akseptabel, perusahaan harus menyertakan pula tanggungjawab bersifat sosial.
Memang tiak bisa
dipungkiri adanya anggapan bahwa tanggungjawab sosial bukanlah aktivitas utama
bagi pelaku bisnis. Fokus utama adalah mendongkrak laba. Anggapan ini membawa
perusahaan melihat tanggung jawab sosial sebagai hal eksternal dalam kegiatan
bisnis atau bersifat sebagai lipstick atau asesori bukan sebagai
aktivitas yang termasuk pada “jantung hati” kegiatan bisinis.
Dalam hal ini
bentuk tanggungjawab sosial perusahaan bersifat syarat perlu, yang didasarkan
atas pilihan sendiri, bukan karena “dipaksa”oleh aturan atau “tekanan”
masyarakat dan datang dari niat baik yang tulus.
Planet
[Lingkugan]
Unsur ketiga
yang harus diperhatikan adalah Planet atau lingkungan Jika perusahaan ingin
tetap eksis maka harus menyertakan pule tanggungjawab kepada lingkungan.
Hubungan kita dengan lingkungan adalah hubungan sebab akibat, dimana kita
merawat lingkungan maka lingkungan akan memberikan manfaat kepada kita.
Namun sayangnya
masih banyak diantara kita yang masih kurang peduli dengan lingkungan seperti
ini. Hal ini disebabkan tidak ada keutungan langsung di dalamnya. Keutungan
merupakan inti dari dunia bisnis dan itu merupakan hal yang wajar.
Kurangnya
kepedulian terhadap lingkungan kerap harus dibayar dengan harga yang mahal dengan
timbulnya berbagai macam penyakit, bencana lingkungan atau kerusakan alam
lainnya. Kasus luapan lumpur Sidoarjo menjadi contoh paling hangat tentang
dampak yang ditimbulkan akibat kelalaian menjaga lingkungan.
ISO 26000:
Guidance Standard on Social adalah panduan dan
standardisasi untuk tanggungjawab sosial [social responsibility]. Ada 4 agenda pokok yang
menjadi program kerja tim ISO hingga tahun 2008.
Sebelumnya sudah
ada Institusi Internasional yang telah me release prinsip-prinsip dasar yang
dapat digunakan sebagai acuan pelaksanaan CSR.
Prof Alyson
Warhurst dari Universitas of Bath, Inggeris, tahun 1998 mengajukan
prinsip-prinsip CSR sbb:
01. Prioritas
korporat.
Mangakui tanggungjawab sosial sebagai prioritas tertinggi korporat
dan penentu pembangunan berkelanjutan
02. Manajemen
terpadu
Mengintehrasikan kebijakan, program dan praktek ke dalam setiap
kegiatan bisnis ssebagai satu unsur manajemen dalam semua fungsi manajemen.
03. Proses
Perbaikan.
Secara berkesinambungan memperbaiki kebijakan program dan kinerja
sosial korporat, berdasarkan temuan riset mutakhir dan memahami kebutuhan
sosial serta menerapkan kriteria sosial tsb secara internasional.
04. Pendidikan
Karyawan.
Menyelenggarakan pendidikan dan
pelatihan serta memotivasi karyawan.
05. Pengkajian
Melakukan kajian dampak sosial ebelum memulai keiatan proyek baru
dan sebelum menutup satu fasilitas atau meninggalkannya
06. Produk dan
Jasa
Mengembangkan
produk dan jasa yang tak berdampak negatif secara sosial
07. Informasi
Publik
Memberi informasi dan mendidik pelanggan distributordan publik
tentang penggunaan yang aman, transportasi, penyimpanan dan pembuangan produk
dan begitu pula dengan jasa.
08. Fasilitas
dan Operasi
Mengembangkan ean mengoperasikan fasilitas serta menjalankan kegiatn
yang mempertimbangkan temuan kajian dampak sosial.
09. Penelitian
Melakukan atau mendukung tentang dampak yang terkait dengan kegiatan
usaha untuk mengurangi dampak yang negatif.
10. Prinsip
Pencegahan
Memodifikasi manufaktur untuk mencegah dampak sosial yang bersifat
negatif
11. Kontraktor
dan Pemasok
Mendorong penggunaan prinsip tanggungjawab sosial korporat yang
dijalankan kalangan kontraktor dan pemasok, disampig itu bila diperlukan
mensyaratkan perbaikan alam praktik bisnis yang dilakukan kontraktor dan pemasok.
12. Siaga
Menghadapi Darurat
Menyusun dan merumuskan renana menghadapi keadaan darurat dan dapat
bekerja sama dengan instansi berwenang dan komunitas lokal.
13. Transfer
Best Practice
Berkontribusi pada pengembangan dan transfer praktik bisnis yang
bertanggungjawab secara sosial pada semua industri dan sektor publik.
14. Memberi
Sumbangan
Sumbangan untuk usaha bersama , pengembangan kebijakan publik dan
bisnis untuk meningatkan esadaran tentang tanggungjawab sosial.
15. Keterbukaan
Menumbuhkembangkan keterbukaan dan dialog dengan pekerja dan publik
mengantisipasi dan memberi respons terhadap potential hazards dan dampak
operasi, produk, limbah atau jasa.
16. Pencapaian
dan Pelaporan
Mengevaluasi kinerja sosial,
melaksanakan audit sosial secara berkala dan mengkaji pencapaian berdasarkan
kriiteria korporat dan peraturan perundang-undangan dan menyampaikan informasi
tsb kepada dewan direksi, pemegang saham pekerja dan publik.
Sedangkan OECD,
pada saat pertemuan para Menteri negara anggota di Paris tahun 2000, menyepakati pedoman
perusahaan multinasional yang meliputi:
01.
Memberi kontribusi untuk
kemajuan ekonomi, sosial dan lingkungan untuk mencapai pembangunan
berkelanjutan.
02.
Menghormati hak-hak azasi
manusia yang dipengaruhi kegiatan yang dijalankan perusahaan.
03.
Mendorong pembangunan kapaitas
lokal melalui kerjasama yang erat dengan komunitas lokal, termasuk kepentingan
bisinis untuk sejalan dengan kebutuhan praktik perdagangan.
04.
Mendorong pembentukan human
capital khususnya melalui penciptaan kesempatan kerja dan memfasilitasi
pelatihan bagi para karyawan
05.
Menahan diri untuk tidak
mencari atau menerima pembebasan diluar yang dibenarkan secara hukum.
06.
Mendorong dan memegang trguh
prinsip-prinsip Goo Corporate Governance [GCG]
07.
Mengembangkan dan menerapkan
praktek-praktik sistim manajemen yang mengatur diri sendiri secara efektif guna
menumbuhkembangkan relasi saling percaya diantara perusahaan dan masyarakat
tempat perusahaan beroperasi.
08.
Mendorong kesadaran pekerja
yang sejalan dengan kebijakan perusahaan melalui penyebar luasan informasi
tentang kebijakan-kebijakan itu kepada pekerja termasuk melalui program-program
pelatihan.
09.
Menahan diri untuk tidak
melakukan tindakan tebang pilih [diskriminatif] dan indisipliner.
10.
Mengembangkan mitra bisnis,
termasuk para pemasok, subkontraktor, unuk kenerapkan aturan perusahaan yang
sejalan dengan pedoman tsb.
11.
Bersikap abstain terhadapsemua
keterlibatan yang tak sepatutnya dalam kegiatan-kegiatan politik lokal.
Selanjutnya Dow
Jones Sustainable Group Indexes mengembangkan prinsip-prinsipnya dalam
prinsip-prinsip keberlanjutan