JOGYAKARTA - Indonesia memiliki cekungan sedimen yang potensial dan
kemungkinan besar mengandung hidrokarbon, terutama minyak dan gas.
Penelitian geologi dan geofisika mengidentifikasi, terdapat 60 cekungan
sedimen tersier tersebar di seluruh Indonesia, dimana 70% terletak di
lepas pantai dan lebih dari setengahnya berada di laut dalam (deep
water). Hingga saat ini, telah ditandatangani 71 kontrak kerja sama
migas di laut dalam dimana sekitar 4 lapangan laut dalam telah disetujui
rencana pengembangan lapangan (PoD I) oleh pemerintah dan menjadi
andalan produksi di masa depan.
Hal itu dipaparkan Dirjen Migas Kementerian ESDM A. Edy Hermantoro ketika menjadi pembicara kunci pada acara Oil and Gas Intellectual Parade (OGIP) 2014 di Yogyakarta, akhir Desember lalu.
Empat lapangan yang telah mendapat persetujuan PoD I adalah Lapangan Jambu Aye Utara, Lapangan Gendalo dan Gehem (IDD Project), Lapangan Abadi serta Lapangan Jangkrik di Blok Muara Bakau.
Lapangan Jambu Aye Utara yang PoD I disetujui tahun 2012, direncanakan akan berproduksi 2014. Sedangkan IDD Project yang merupakan proyek laut dalam yang dikembangkan oleh Chevron Indonesia Company melalui 4 kontrak kerja sama yaitu KK Ganal, Rapak, Makassar Strait dan Muara Bakau, diharapkan dapat berproduksi tahun 2018.
Lapangan Abadi yang dikembangkan Inpex Masela Ltd, diperkirakan memiliki cadangan terbukti sebesar 6,05 TCF. Inpex akan membangun kilang LNG terapung dengan kapasitas 2,5 juta ton per tahun (MTPA). Fasilitas yang membutuhkan investasi sebesar US$ 5 miliar ini, diharapkan dapat mulai berproduksi pada akhir 2016.
Sementara untuk Lapangan Jangkrik yang dikembangkan oleh Eni Muara Bakau B.V, ditargetkan berproduksi tahun 2015.
Edy menjelaskan, lapangan laut dalam meski dianggap menjadi andalan sektor migas Indonesia di masa mendatang, teknologi yang akan digunakan dianggap masih terlalu mahal dan rumit untuk Indonesia.
“Oleh karena itu, pemerintah perlu waktu untuk dalam bekerja di dalamnya,” ujar Edy.
Sebagai gambaran, jika dibandingkan dengan pengembangan migas lepas pantai, pelaksanaan kegiatan eksplorasi di wilayah offshore, jauh berbeda dari pengembangan laut dalam. Utamanya dalam pemilihan fasilitas dan metode. Contohnya, pemboran onshore hanya membutuhkan biaya US$ 5-10 juta. Pengeboran di perairan dangkal mencapai US$ 20-25 juta. Sedangkan untuk laut dalam membutuhkan biaya US$ 80-100 juta.
Untuk menarik investor mengembangkan lapangan laut dalam, pemerintah memberikan bagi hasil yang lebih baik yaitu 65:35 untuk minyak dan 60:40 untuk gas. Selain itu, tidak ada sumur eksplorasi dalam komitmen pasti serta pembebasan bea impor. (TW)
Hal itu dipaparkan Dirjen Migas Kementerian ESDM A. Edy Hermantoro ketika menjadi pembicara kunci pada acara Oil and Gas Intellectual Parade (OGIP) 2014 di Yogyakarta, akhir Desember lalu.
Empat lapangan yang telah mendapat persetujuan PoD I adalah Lapangan Jambu Aye Utara, Lapangan Gendalo dan Gehem (IDD Project), Lapangan Abadi serta Lapangan Jangkrik di Blok Muara Bakau.
Lapangan Jambu Aye Utara yang PoD I disetujui tahun 2012, direncanakan akan berproduksi 2014. Sedangkan IDD Project yang merupakan proyek laut dalam yang dikembangkan oleh Chevron Indonesia Company melalui 4 kontrak kerja sama yaitu KK Ganal, Rapak, Makassar Strait dan Muara Bakau, diharapkan dapat berproduksi tahun 2018.
Lapangan Abadi yang dikembangkan Inpex Masela Ltd, diperkirakan memiliki cadangan terbukti sebesar 6,05 TCF. Inpex akan membangun kilang LNG terapung dengan kapasitas 2,5 juta ton per tahun (MTPA). Fasilitas yang membutuhkan investasi sebesar US$ 5 miliar ini, diharapkan dapat mulai berproduksi pada akhir 2016.
Sementara untuk Lapangan Jangkrik yang dikembangkan oleh Eni Muara Bakau B.V, ditargetkan berproduksi tahun 2015.
Edy menjelaskan, lapangan laut dalam meski dianggap menjadi andalan sektor migas Indonesia di masa mendatang, teknologi yang akan digunakan dianggap masih terlalu mahal dan rumit untuk Indonesia.
“Oleh karena itu, pemerintah perlu waktu untuk dalam bekerja di dalamnya,” ujar Edy.
Sebagai gambaran, jika dibandingkan dengan pengembangan migas lepas pantai, pelaksanaan kegiatan eksplorasi di wilayah offshore, jauh berbeda dari pengembangan laut dalam. Utamanya dalam pemilihan fasilitas dan metode. Contohnya, pemboran onshore hanya membutuhkan biaya US$ 5-10 juta. Pengeboran di perairan dangkal mencapai US$ 20-25 juta. Sedangkan untuk laut dalam membutuhkan biaya US$ 80-100 juta.
Untuk menarik investor mengembangkan lapangan laut dalam, pemerintah memberikan bagi hasil yang lebih baik yaitu 65:35 untuk minyak dan 60:40 untuk gas. Selain itu, tidak ada sumur eksplorasi dalam komitmen pasti serta pembebasan bea impor. (TW)
Sumber: ESDM